Jejaring sosial kian ramai dan menarik di sekitar kita, tidak ada yang menyangkal. Bagaimana dengan anak-anak?
Sekitar setengah tahun lalu kedua anak saya — kelas 7 dan 5 — menyebut Friendster dengan merujuk pada teman-teman di sekolahnya. Saya yang sedang memikirkan kegiatan produktif untuk mereka di ranah maya — tanpa pikir panjang — tertarik. Karena saya sudah meninggalkan Friendster, saya jelaskan hal umum tentang jejaring sosial dan secara persuasif mengarah ke Facebook. Melihat saya sering menulis di Plurk, timbul juga pertanyaan dari mereka, “Untuk apa sebenarnya menulis di sana?”
Sebelumnya mereka sudah punya akun di Yahoo! Messenger dan lebih awal lagi di MSN. Alasan yang paling sederhana: keperluan mereka bercakap-cakap dengan teman lewat penyeranta. MSN populer di Groningen, Belanda, dan mereka pindah ke YM setelah memiliki teman daring di Bandung. Saya ingat pendaftaran di Yahoo! saat itu lewat fasilitas “di bawah pantauan orang tua.” Jika tidak keliru, Yahoo! Kids memungkinkan hal tersebut: akun anak-anak dibuat dengan supervisi akun orang tua.
Saat registrasi di salah satu jejaring sosial, saya disadarkan tentang faktor usia. Di isian formulir registrasi, tahun kelahiran dibatasi atau terdapat pernyataan persetujuan bahwa calon pengguna sudah berusia cukup. Wah, saya perlu berhati-hati.
Kendati tanggal lahir dapat diakali agar calon pengguna lolos melanjutkan proses registrasi, saya memikirkan ulang keputusan membiarkan anak-anak memiliki akun di jejaring sosial. Saya baca lagi Ketentuan Layanan (Term of Services) dan mendapati beberapa variasi, baik dari sisi usia atau cara penggunaannya. Ada yang hanya menyebut calon pemilik akun harus berusia 16 tahun tanpa embel-embel lain; ada pula yang membedakan pengunjung dan pemilik akun. Secara umum usia yang diizinkan masih di atas usia anak-anak saya, ini yang perlu dijelaskan kepada mereka.
Tentu muncul reaksi, “Mengapa teman-teman di kelas sudah menggunakan?” Justru akan menarik berkaitan dengan latar belakang kesepakatan saya dan anak-anak.
Hal pertama yang tidak saya setujui dengan mengakali tanggal lahir agar lolos registrasi adalah ketidakjujuran itu sendiri. Anak-anak akan melihat dan mengalami di depan mata cara seperti itu dan akan menjadi preseden bahwa tindakan tersebut, “biasa-biasa saja.” Berlaku curang akan sesuatu yang “tidak penting” atau “sepele” dapat merembet pada pengaburan ke hal-hal lain yang lebih mendasar. Memberi batas “tidak penting” dan “penting” juga menimbulkan kerepotan baru, lebih baik ditegaskan dari awal bahwa jujur itu baik dan perlu dilakukan setiap saat.
Atas dasar landasan seperti di atas saya juga tidak setuju dengan salah satu imbauan di sebuah media yang berlatar belakang agama agar pengguna jejaring sosial mengisi data palsu dengan tujuan tidak mudah disalahgunakan pihak lain. Padahal pilihan yang tersedia lebih sederhana dan lebih jujur: berikan hanya keterangan yang dianggap perlu, yang lain lewati saja.
Selain itu dengan memalsukan faktor usia misalnya, anak-anak dapat menghadapi persoalan selanjutnya yang memang belum waktunya mereka temui. Yang paling sederhana: sangat mungkin oleh pengguna lain di jejaring sosial tersebut anak-anak dianggap sudah “cukup umur” dan diajak berkomunikasi dengan ungkapan yang belum mereka pahami.
Faktor kedua yang perlu dipertimbangkan adalah komitmen yang sudah saya bangun dengan anak-anak ihwal peringkat usia (rating). Di Belanda terdapat panduan peringkat tontonan (kijkwijzer) yang bertujuan membantu mendapatkan materi tontonan yang sesuai. Ikon peringkat tersebut dipasang di setiap acara televisi dan ragam media lain, baik di toko maupun di situs web. Saat itu, saya dan anak-anak bersepakat bahwa setiap hendak menonton atau membeli materi tontonan, ikon dan keterangan tadi harus dibaca terlebih dulu, dan diikuti. Ini memudahkan karena anak-anak bertanggung jawab pada saat memilih mainan, membaca majalah di perpustakaan, hingga menonton televisi sampai hampir tengah malam. (Di musim panas matahari baru terbenam pukul 22.15 dan di sebagian stasiun televisi sudah masuk jam tontonan dewasa.)
Sayang jika komitmen yang sudah dibangun ini luntur begitu saja hanya karena menabrak aturan yang dibuat oleh situs jejaring sosial, karena berikutnya akan menjadi longgar untuk banyak urusan lain. Alhasil, sebagai gantinya saya ingatkan lagi komitmen tersebut, disertai penjelasan seperti sebelumnya jika berkaitan dengan peringkat tontonan.
Syukurlah, dapat diselesaikan. Mereka dapat memahami sendiri dan paling bercanda, “Tahun depan aku boleh mendaftar, ya?” Ungkapan wajar, tanpa ekspresi penyesalan.
Saya menyadari cara seperti di atas bukan sesuatu yang teruji total untuk semua situs yang diikuti atau dikunjungi anak-anak. Sangat mungkin mereka langsung bergabung di situs permainan tanpa membaca aturan yang berlaku — atau sebaliknya situs tersebut tidak menyediakan peringkat penggunanya — dan saya sendiri tidak berinisiatif melakukan inspeksi ke semua situs web yang digunakan anak-anak. Yang ingin saya tekankan adalah metode pengambilan keputusan untuk tetap mengikuti aturan main, dengan cara yang sederhana. Dikaitkan dengan risiko penggunaan Internet yang lebih luas, tentulah sebagai orang tua perlu tetap tarik-ulur antara ikut menemani dan melepas kegiatan mereka.
Kebetulan juga beberapa hari setelah kejadian di atas, saya diwawancarai oleh salah seorang jurnalis media lokal tentang penggunaan jejaring sosial untuk meningkatkan hubungan antara orang tua dan anak-anak dalam satu keluarga yang masih tinggal serumah. Barangkali saya ketinggalan zaman, saya jawab dengan datar, “Masak sih orang tua sedemikian sibuk sampai tidak ada waktu untuk bertemu langsung dengan anak-anaknya dan menggantinya di jejaring sosial? Okelah, jika ingin menambahi frekuensi komunikasi, bukankah tarif percakapan telepon sekarang sudah super-murah? Telepon saja anak-anak dan mengobrol langsung.”
Sumber: http://direktif.web.id
Bagikan artikel ini:
Facebook